Menu Baru Web PWS Medan

Bergabunglah dengan Paguyuban Wargi Sunda versi FaceBook , dapatkan info PWS terbaru , Jangan lupa DOWNLOAD File berbentuk Powerpoint ( pps ) dari web ini , dan semuanya tentu saja Gratis untuk anggota dan pembaca setia Web PWS - Medan , Haturnuhun
Myspace tweaks at TweakYourPage.com

Jumat, 26 Oktober 2007

Ibing Jaipong


Contoh Video Tari Jaipong dapat dilihat di link dibawah ini:

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/02/99pekan.htm

Gugum Gumbira
Jaipong - Erotisme Itu Kodrati

MENYEBUT Jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang
pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang
dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan
dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama
pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum
manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam
tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai
hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.

Jaipongan adalah sebuah fenomena menarik dan penting dalam
perkembangan khazanah tari Sunda dan itu tak hanya mendasar pada
gagasan estetis yang diusungnya, melainkan juga pada bagaimana
kemudian tarian ini membuat fenomena tersendiri atas sambutan
masyarakat terhadapnya. Akhir tahun 1970-an sebagai awal
kemunculannya Jaipongan langsung menjadi trend yang mencengangkan.
Tak hanya menjadi pentas "wajib" di panggung-panggung kawinan di
rumah penduduk, atau juga pentas 17 Agustusan, tapi juga bahkan
sampai ke pentas yang prestisius. Dari mulai hotel hingga atraksi
pertunjukan seremonial besar lainnya, bahkan juga melanglang buana ke
berbagai negara sebagai misi kesenian.

Di tengah masyarakat, demam Jaipongan ketika itu menjadi fenomena
yang belum pernah terjadi terhadap jenis tari tradisi lainnya.
Termasuk di perkotaan dengan minat para remaja terhadap tarian ini.
Maka di mana-mana ketika itu berdirilah sanggar dan kursus-kursus
Jaipongan. Di antar oleh ibunya, anak sekolah pun begitu antusias
mengikutinya. Nama-nama seperti Daun Pulus dan Keser Bojong ketika
itu amat populer sebagai tembang pengiring Jaipongan. Begitu nama
Mang Samin, atau penari Tati Saleh (alm.), dan sebutan serempak
berbunyi "Jugala" dengan pukulan kendang yang ritmis.

Tapi menyebut Jaipongan adalah juga memanggil ingatan pada seorang
seniman yang namanya tak bisa dipisahkan dari tarian tersebut, yakni
Gugum Gumbira. Ingatan pada lelaki yang usianya sama dengan usia
negara ini memang harus dipanggil kembali mengingat nama dan sosoknya
lama tak lagi terdengar. Jika pun pernah terdengar, nama itu selalu
dihubungkan jabatan birokrasi yang disandangnya sebagai Kepala Dinas
Pariwisata atau manajer Persib, ketimbang dengan Jaipongan, terlebih
di mata anak-anak muda meski memang Jaipongan sampai hari ini masih
diminati.

Nama itu kemudian makin menjarak dari publik setelah Gugum Gumbira
pensiun. Kecuali sesekali muncul dan berkumpul bersama komunitas
seniman di suatu acara, Gugum Gumbira memang jarang sekali muncul di
tengah publik.

"Yah, kesibukan sebagaimana orang yang sudah pensiunlah! Yang tadinya
ingin santai ternyata ada usaha dan pekerjaan. Wiraswasta. Ternyata
sama sibuknya, bahkan mungkin lebih sibuk ketimbang birokrat,"
ujarnya dalam percakapan di rumahnya yang sejuk di kawasan Jalan Kopo
Bandung Rabu (29/3).

"Kesibukan saya mengelola padi dan beras. Juga mengurus studio
rekaman. Ketiganya, saya diajak oleh teman di Jakarta membuat
perusahaan. Saya diminta untuk membantu," tambah suami dari sinden
Cianjuran terkenal, Euis Komariah ini.

Sebagai birokrat seseorang bisa saja pensiun, tapi rasanya tidak
sebagai seniman. Begitu juga dengan Gugum Gumbira. Lelaki yang pernah
membawa Jaipongan ke berbagai negara di Eropa dan Asia ini dengan
semangat akan bertutur banyak jika diajak bicara tentang Jaipongan,
termasuk ketika dihubung-hubungkan dengan apa yang tengah marak dan
tarik-menarik pro-kontra di tengah masyarakat yakni Rancangan Undang-
Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP). Bahkan kadang-kadang
nada suaranya mendadak menjadi tinggi.

"Ini menyangkut etnik! Ini menyangkut seni tradisi yang sudah jadi
misi kesenian ke berbagai negara. Nanti, misalnya, tidak boleh karena
undang-undang itu muncul, ini apa? Lepas dari soal setuju tidak
setuju, saya belum tahu. Tapi saya juga anak sekolahan, bekas
birokrat, tahu sedikit banyak apa itu peraturan, hukum dan undang-
undang!" katanya sengit. Berikut percakapan kami, dari mulai
persoalan Jaipongan hingga erotisme.

Bagaimana dulu proses Anda menciptakan Jaipongan itu? Asal kata
Jaipongan itu dari mana?

Kata Jaipongan itu memang bukan arti kata suatu bangunan kesenian,
tapi dibawakan oleh Alisahban dan Ijem di Topeng Banjet Gaya Asmara.
Topeng Banjet itu kan berlakon, nah, di tengah ceritanya ada
bodorannya. Itu yang muncul sampai sekarang Ijem, kalau Alisahbannya
sudah wafat. Di tengah permainan mereka berdua ketika itu terdapat
bunyi ucapan "Jaipong". Kata itu mereka lantunkan untuk meniru bunyi
pukulan kendang yang dilatahkan, blaktingpong! Jadi "Jaipong". Jadi
keluarnya kata Jaipong, saya mendengarnya dari Alisahban dan Ijem di
tengah-tengah pertunjukan lakon teater rakyat Topeng Banjet, dalam
sesi bobodoran. Bunyi pukulan kendang itu blaktingpong dan oleh
Alisahban dan Ijem itu ditirukan bunyinya jadi "Jaipong". Itu saja.
Tidak ada artinya, lebih ke bunyi, seperti asal kata dangdutlah!

Terus inspirasi Anda bagaimana bisa mengadopsi dan menjadikannya
sebuah tarian?

Saya sudah membuat satu konsep gerak yang pada waktu itu belum ada
namanya. Konsep gerak itu saya bayangkan akan bisa dicerna dan
dimainkan, dan diminati oleh remaja untuk jadi tari pergaulan dan
tari pertunjukan. Waktu itu kan ngahikhok tidak boleh. Saya berpikir
ketika itu tarian tersebut bisa sebagai penggantinya sebagai tari
pergaulan. Saya memulainya itu dari tahun 1968 dan selesai tahun
1976. Tahun 1978 ada Festival Tari Rakyat Jawa Barat yang
dilaksanakan oleh Projek Pengembangan Kebudayaan Jawa Barat. Nah,
saya dimasukkan ke dalam event tersebut sebab saya dianggap punya
sesuatu yang dianggap baru. Tapi memang belum selesai. Garapan
karawitannya belum selesai. Lantas apa boleh buat, harus diselesaikan
dan langsung mengikuti festival itu. Hanya namanya waktu itu saya
memakai nama "Ketuk Tilu Perkembangan"
. Nah, dalam seminar, panitia
mendapatkan masukan dari seniman komunitas Ketuk Tilu. Mereka
keberatan saya memakai nama "Ketuk Tilu Perkembangan"
, sebab Ketuk
Tilu belum mati. Jadi, kreasi saya itu belum ada namanya. Diberi
waktu oleh panitia, seminggu harus ada nama baru, sebab ini semua
baru. Lain dari Ketuk Tilu, berbeda dari Tayub, lain dari apa saja
yang waktu itu difestivalkan. Wah, bingung saya! Tadinya mau saya
namain Bojongan, tapi Bojongan terlalu banyak kan? Nah, saya pergi ke
Karawang, perlu tukang gong. Tapi tukang goong itu sedang dipake oleh
Alisahban. Di situ saya mendengar kata-kata Jaipongan, lalu saya
pikir sudah saja ini namanya. Tapi sempat saya tanya pada Alisahban,
arti kata Jaipongan. Kata dia tidak ada artinya. Hanya untuk
bobodoran. Ini melawak saja. Jadi dalam adegan bobodoran itu,
Alisahban berperan sebagai guru tari dan mencontohkan gerak, "Mundur-
mundur lalu maju-maju, blaktingpong blaktingpong pletuk-pletuk! Lalu
disusul oleh suara gamelan, Jaipong! Jaipong! Ya, sudah jadi saja
Jaipongan.

Terus gerak idiom tari pergaulan itu Anda ciptakan sendiri atau
mencoba mengadopsi dari tradisi yang sudah ada?

Oh tidak! Jadi, saya survei dari tahun 1967 ke seantero Jawa Barat
sampai ke Betawi dan yang banyak tersebar di Jawa Barat itu memang
Ketuk Tilu. Yang telah menjadi baku adalah pencak silat dan itu sudah
menjadi bahan dasar bagi saya, itu pun tidak seutuhnya gerak pencak.
Tapi yang diambil esensi dinamika gerak dan karakternya, yang memang
sama dengan modern dance anak-anak muda ketika itu.

**

SATU hal juga patut diingat orang ketika itu, yakni ketika Jaipongan
mendadak tidak disukai oleh sejumlah pejabat Provinsi Jawa Barat pada
masa Gubernur Aang Kunaefi karena dianggap terlalu erotis. Istilah 3
G ketika itu dianggap sebagai biang keladi dari erotisme itu, yakni
goyang, geol, gitek. Namun ternyata hal itu toh tidak mengurangi
minat masyarakat pada Jaipongan. Sebenarnya apa yang terjadi ketika
itu? Mengapa para pejabat dan elite tiba-tiba merasa gerah dengan
Jaipongan?

"Ah! Saya kira itu bukan datang dari para elite. Kalau yang saya
lihat itu mungkin muncul dari komunitas kesenian itu sendiri yang
takut tersingkirkan,
" ujar Gugum mengenang.

Ia beralasan dalam setiap event pertunjukan di Gedung Pakuan, dia
sendirilah yang selalu diminta ngibing oleh gubernur. Bahkan ketika
ia sakit dan tak bisa menari, gubernur mengirim dokter pribadinya.
Tapi, katanya, entah siapa yang diam-diam memberi bisikan pada
gubernur bahwa Jaipongan itu terlalu erotis. "Pak Aang juga menerima
masukan itu, dan menyarankan pada saya, untuk mengurangi unsur
erotisnya. Nah, saya tanyakan, yang erotis tuh yang kayak gimana?
Beliau bilang, ya, geol, gitek, goyang.

"Lho, tari saya dari awal sampai akhir, tidak ada 20% itu gerakan
geol, gitek, goyang. Kalau saja ketiga unsur itu sedikit ada, itu
bukan buat mendominasi gerakan. Tapi memang dalam tari rakyat unsur
erotisme itu ada. Rasa erotis di mana-mana pun ada,"paparnya.

Menurut Anda sendiri erotisme itu apa sih?

Konotasi atau sudut pandang erotis bagi saya adalah keindahan.

Bukan yang mengarahkan kepada seks appeal. Sebab kalau yang disebut
keindahan atau yang bisa mengusung kepada unsur erotis atau seks
appeal bukan hanya goyang saya kira.

Jadi menurut Anda erotisme itu sesuatu yang alamiah begitu?

Memang kodrati. Itu dari sananya, kita nggak usah malu-malu. Tapi
memang kalau dalam pertunjukan, kita harus memberikan suatu edukasi
atau tanda bahwa sejauh ini kita ini masyarakat yang sangat beradab.
Ya, saya kira kalau ngomong goyang, ya, jalan juga goyang! Parfum
juga bisa menimbulkan unsur erotis. Karena itu golongan elite kota
besar lebih gila itu erotisnya, dari mulai parfum, sampai bedak, dan
lipstik yang kalau semuanya kita cium, waaaaah! (tertawa). Belum lagi
baju dan modelnya.

Tapi tampaknya sekarang pengertian erotisme selalu diarahkan pada
pornografi dan imbasnya bukan tidak mungkin sampai ke tari-tari
rakyat.

Ya, memang kita hidup dalam masyarakat yang heterogen. Sudut
pandangnya bisa ada berbeda antara komunitas satu dan komunitas yang
lainnya. Yang mayoritas dan yang minoritas. Termasuk mereka yang
mengajukan hal ini supaya dibuat undang-undang (RUUAPP). Undang-
undang itu kan harus esensi sekali. Apakah betul erotisme merupakan
gejala kejahatan, kriminal? Maksudnya dalam pornoaksi jika yang
dimaksud itu menunjuk pada gerak-gerak tari. Sebab kenapa yang bukan
gerak tari tidak akan diatur, seperti berenang? Jalan kaki bagi yang
bagus badannya, wanita ada juga yang pinggulnya goyang, apakah itu
nanti jadi kasus? Dalam ilmu anatomi, bahwa badan atas dan kaki di
bawah, semuanya juga pakai sendi. Semuanya bergantung pada apa yang
ada dalam kepala orangnya. Kalau orangnya ngeres teu kuat iman, susah
itu mah! Saya bukan orang yang seperti itu. Saya orang Indonesia,
saya orang beragama Islam, dan orang berbudaya. Berarti beradab,
sekolah. Nah, sekarang kalau undang-undang ini akan dibuat, bawalah
semua bicara, supaya nantinya tidak jadi bumerang ke pemerintah itu
sendiri. Kalau masyarakatnya tidak mau, bagaimana?

Kalau undang-undang itu nanti ternyata disahkan dan diterapkan, pasti
Jaipongan kena yah? Termasuk juga mungkin Kliningan di pesisir Jawa
Barat?

Oh, tidak! Saya bukan persoalan Jaipongan, dangdut lebih-lebih!
Berhenti itu musik dangdut! Kalau Jaipongan berapa persen goyangannya
dalam satu tarian, tidak ada 20%. Di Kliningan kebanyakan orang nari
laki-laki. Kalaupun perempuan dia tidak merasa harus seperti penari
striptis! Memang keahliannya ada di tiap sendi tubuhnya. Ya, dia
menari saja melenggak-lenggok dari atas ke bawah. Karena sendinya ada
di pinggul, ya, seperti jalan kaki saja.

Kenapa kok anggota tubuh kita ini dikenakan norma yang berbeda-beda
yah?

Iya, padahal itu kan pemberian Tuhan, yah!

Saya ingin balik lagi ke Jaipongan. Sejak muncul akhir tahun 1970-an
sampai sekarang, sampai sejauh mana perkembangannya?

Ya, kalau pengembangannya memang tercerabut kepada segala hal.

Ke Pop Sunda, ke wayang, ke calung, sampai ke gamelan Jawa, gamelan
Bali, dan rock di Jerman dan di New Zealand. Tapi kebanyakan yang
diambil kendangnya saja misalnya, nyanyinya saja, tariannya saja.
Memang ada beberapa penari latar lagu dangdut, yang mengeksploitasi
goyang. Itu bukan tari Jaipongan! Itu tari dangdut! Itu kan musiknya
bukan musik Jaipongan?! Yang disebut Tari Jaipongan itu total, tidak
bisa dipereteli!

Jadi kalau diambil idiomnya saja, dan dipakai untuk tari latar
dangdut, itu bukan Jaipongan ya?

Pada waktu kapan dan musiknya apa? Tari itu ada gerak ada musik.

Tidak bisa itu disebutkan tari Jaipongan.

Tidak ada komentar: