Menu Baru Web PWS Medan

Bergabunglah dengan Paguyuban Wargi Sunda versi FaceBook , dapatkan info PWS terbaru , Jangan lupa DOWNLOAD File berbentuk Powerpoint ( pps ) dari web ini , dan semuanya tentu saja Gratis untuk anggota dan pembaca setia Web PWS - Medan , Haturnuhun
Myspace tweaks at TweakYourPage.com

Senin, 23 Juni 2008

Kisah Delapan Mata Angin

Ada seorang murid yang sudah bertahun-tahun belajar ilmu kebijakan dari seorang guru di sebuah pulau terpencil. Kini ia merasa telah cukup ilmu dan berniat untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat di seberang pulau.

Singkat kata, ia pamit pada sang guru dan meninggalkan pulau terpencil tersebut.


Beberapa lama kemudian ia mendirikan sebuah perguruan dan memiliki banyak murid pula. Teringat ia pada sang guru, ia ingin menunjukkan hasil pengabdiannya selama ini. Ia lalu menulis sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran kebijakan.

Kitab itu diberi judul "Kitab Delapan Mata Angin" karena bila orang mengamalkan isi kitab itu maka ia akan tetap tegar dalam kebenaran meski didera angin badai dari delapan penjuru mata angin.

Ia mengutus seorang muridnya untuk mengantarkan kitab itu pada gurunya di

seberang pulau.

Sang guru , si Kabayan menerima kiriman "Kitab Delapan Mata Angin" dengan suka cita.
Namun, setelah membaca isinya, tanpa terduga-duga beliau mencorat-coret sampul kitab itu dengan tulisan "Kamu tak lebih dari angin kentut belaka".
Sang guru mengembalikan kitab itu.

Betapa terkejutnya si murid ketika menerima dan membaca tulisan sang guru. Mukanya merah padam. Ia memutuskan untuk menemui gurunya dan meminta
penjelasan apa maksud tulisan itu. Bergegas ia melepas tali perahu dan mendayung sendiri menemui gurunya.

Sesampai di sana, ia langsung bertanya pada gurunya,
"Apa maksud guru menulis kata-kata kotor seperti ini?"

Jawab sang guru dengan kalem,

"Lho... katanya kamu mampu bertahan dari
gempuran angin badai yang datang dari delapan penjuru mata angin. tapi,
mengapa, hanya dengan tiupan angin kentut saja, sudah membuatmu terpental
dari seberang sana ke pulau terpencil ini, heh..?

Mendengar jawaban gurunya, ia langsung menyesali kesalahannya.

Renungan ...!
Setinggi apa pun kebijakan yang terucap di bibir atau tertulis di
buku tak lebih berarti daripada yang terpatri dalam hati.

Tidak ada komentar: